Iklan 3360 x 280
iklan tautan
NKRI Sejati - Pasukan gerilya masuk ke dalam kota sejak tengah malam. Mereka datang dari empat penjuru kota, menuju beberapa titik sentral yang antara lain Malioboro, Stasiun Tugu, dan yang paling sentral adalah pabrik besi Watson. Ini karena dalam pabrik besi tersebut tersimpan sejumlah besar amunisi milik Belanda.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah bukti bahwa Indonesia tak mau kalah ditindas Belanda. Peristiwa tersebut terjadi dengan sangat mendadak, dengan strategi jitu.
Keberhasilan pasukan gerilya Republik dalam melancarkan serangan, salah satunya, ditentukan oleh jalur rahasia yang sebenarnya merupakan saluran air bawah tanah, alias gorong-gorong.
Baca Juga: Balada Sang Letnan KEBAL PELURU, Jawara SO 1 Maret, MENANGIS Terisak Dipelukan Jendral Soedirman
Gorong-gorong di Yogyakarta berbeda dengan kota lain di Indonesia. Saluran air bukan di kanan kiri jalan, tetapi ada di bawah jalan. Ukurannya besar, setinggi satu meter hingga tiga meter hingga bisa dilalui dengan cara berlari oleh manusia.
Pasukan gerilya masuk ke dalam kota sejak tengah malam. Mereka datang dari empat penjuru kota, menuju beberapa titik sentral yang antara lain Malioboro, Stasiun Tugu, dan yang paling sentral adalah pabrik besi Watson. Ini karena dalam pabrik besi tersebut tersimpan sejumlah besar amunisi milik Belanda.
Strategi pergerakan pasukan yang digunakan oleh pasukan gerilya agar dapat cepat dan efektif adalah menjalankan perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebelum penyerangan, Sri Sultan memerintahkan kepada Komandan Wehrkreise III Yogyakarta, Soeharto, untuk menyebarkan pasukan dengan menggunakan jalur bawah tanah, berupa gorong-gorong yang berada di bawah kota.
"Fungsi gorong-gorong tersebut adalah sebagai saluran air bawah tanah," ujar Totok Priyanto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Yogyakarta ketika dihubungi merdeka.com beberapa waktu lalu.
Lokasi gorong-gorong tersebut melingkari Kraton Yogyakarta, terhubung dengan beberapa titik sentral di Kota Yogyakarta.
"Gorong-gorong tersebut dapat dimasuki lewat pintu-pintu di sekitar Ngasem," ujar Totok melanjutkan.
Dalam serangan gerilya pada tanggal 1 Maret 1949 tersebut, pasukan gerilya menyebar melalui pintu-pintu gorong-gorong yang ada di sekitar keraton. Kemudian mereka menyebar menggunakan jalur-jalur yang terdapat dalam gorong-gorong. Setelah beberapa saat pasukan gerilya menyusuri gorong-gorong, mereka keluar dengan menggunakan pintu yang terbuat dari besi.
Baca juga: Aksi Heroik Dan Menegangkan..! Duel Maut Sampai Mati: Satu Lawan Satu Kopassus vs Gerilyawan PGRS
Satu per satu prajurit keluar dari gorong-gorong. Kemudian menyebar dan bersembunyi di balik dinding bangunan. Lantas menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangan, yaitu ketika sirine dibunyikan di pagi hari.
Pertempuran terjadi selama 6 jam. Pihak Belanda merasa kewalahan karena sifat serangan yang begitu mendadak. Ditambah lagi, Belanda hanya diperkuat dengan kekuatan yang sedikit. Sehingga mereka terpaksa harus mendatangkan bala bantuan dari Magelang.
Baru siang harinya bantuan itu bisa didatangkan berupa dua batalyon di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten. Batalyon tersebut dilengkapi dengan tank dan panser, dibantu serangan udara.
Ketika bantuan tersebut masuk secara perlahan ke Yogyakarta, pasukan gerilya telah meninggalkan Yogyakarta sehingga bantuan yang datang untuk mendukung Belanda menjadi sia-sia.
Baca juga: Mengingat Pertempuran Sengit & Berdarah Kopassus Vs Tropaz, Pasukan "Bengis" Didikan Portugal.
Kini, gorong-gorong tersebut masih terjaga secara baik. Keberadaannya pun selalu dipantau oleh Dinas PU Kota Yogyakarta.
"Kami selalu melakukan pengawasan, agar gorong-gorong tersebut selalu terjaga," kata Totok.
Sumber: merdeka.com